https://i0.wp.com/www.commercialpressuresonland.org/sites/default/files/images/transmigrasi.jpg

Foto: “The Transmigrasi. Research Paper

 

Hal : Surat Terbuka

Assalamuallaikum……..
Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Arang-arang Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi adalah pemukiman transmigrasi ysng dihuni oleh transmigran yang diberangkatkan dari Kabupaten Lumajang, Banyuwangi, Lamongan, dan Pacitan berdasarkan Surat Bupati Muaro Jambi Nomer 4754/252/Nakertrans Kepada Dirjen Mobduk Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tanggal Sengeti, 28 Juni 2004 dan Keputusan Bupati Muaro Jambi Nomor 531 Tahun 2007 Tentang Penempatan 250 Kepala Keluarga Transmigran pada UPT Arang-Arang Kec. Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi. Sedangkan transmigran lokal adalah penduduk asal Kabupaten Muaro Jambi berdasarkan Keputusan Bupati Muaro Jambi Nomor 536 Tahun 2008 Tentang Penempatan 250 Kepala Keluarga Transmigran pada UPT Arang-Arang Kec. Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi.
Mendasarkan pada perundangan tentang ketransmigrasian Republik Indonesia mengenai hak dan kewajiban anggota sebagai transmigran Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi sesuai dengan :
1. UURI Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UURI Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
2. PPRI Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi.
3. Keputusan Menteri Transmigrasi Nomor Kep. 124/MEN/1990 Tentang Pola Pemukiman dan Pengembangan Usaha Transmigrasi
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 208/MEN/2004 Tentang Syarat dan Tata Cara Penetapan Sebagai Transmigran
5. Keputusan Bersama Bupati Muaro Jambi dengan Bupati Lamongan Nomer 03 Tahun 2003 dan Nomer 39 Tahun 2003 tentang Kerjasama Pembangunan Bidang Transmigrasi. Berikut Perjanjian Kerjasama dengan Kabupaten Pacitan, Lumajang dan Banyuwangi.
6. Perjanjian Kerjasama tentang Penyelenggaraan Pembangunan Bidang Transmigrasi antara Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan Nomer : 475/597.A/TRANS/2003 dan Nomer : 181.1/249.2/413.013/2003. Berikut Perjanjian Kerjasama dengan Kabupaten Pacitan, Lumajang dan Banyuwangi.
Transmigran UPT Arang-arang dalam hal ini belum mendapatkan sebagian haknya sebagai transmigran yaitu kebun plasma.
Kami sudah menempuh berbagai upaya yang sangat serius dalam membela hak-hak kami sebagai transmigran mulai dari mengkomunikasikan permasalahan di daerah asal (dalam hal ini kami mulai dari Pemerintah Kabupaten Pacitan) melalui Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pacitan dengan cara membuat surat aduan kepada Bupati sehingga keluarlah Surat Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomer : 475.1/702/408.40/2012 perihal Tindak Lanjut Aduan Transmigran Asal Pacitan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sehingga keluarlah Surat Direktorat Jendral Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Nomer : B.492/P2Ktrans/V/2013 perihal Surat Aduan Transmigran Asal Kabupaten Pacitan di Kabupaten Muaro Jambi.
Surat dari Dinas Sosnakertran Kabupaten Pacitan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kami kawal langsung dengan terjadinya audiensi bersama Dirjen P4Trans Kemenakertrans. Kami selaku warga Transmigran juga menempuh upaya lain di daerah tujuan transmigrasi yaitu di Kabupaten Muaro Jambi dengan melakukan konsolidasi dengan Legislatif yaitu DPRD Kabupaten Muaro Jambi untuk menyampaikan permohonan mediasi dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Bentuk lain perjuangan kami adalah melakukan diskusi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) sekaligus minta pendampingan hukum karena Lembaga tersebut juga sebagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Kami juga minta bantuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) karena kami merasa hak-hak kami sebagai transmigran terabaikan.
Konsolidasi dengan pihak perusahaan yang menjadi bapak angkat yaitu PT. Muaro Kahuripan Indonesia (MAKIN) juga sudah berulang kali tetapi pihak MAKIN berlindung di balik perjanjian yang tidak berpihak pada transmigran. Aduan juga sudah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dengan berbagai argumentasi, tetapi masihlah sulit bagi kami untuk memperoleh hak plasma.
Kami selaku warga Transmigran mohon sekiranya di perkenankan untuk menyampaikan permohonan seperti tercantum di bawah ini untuk :
1. Mengkaji Perjanjian Kerjasama Pembangunan Perkebunan antara PT. Muaro Kahuripan Indonesia dengan Koperasi Berkah Sejahtera Nomor : SPK/029A/MKI/II07 yang tidak sesuai dengan amanat Undang-undang Transmigrasi, sehingga kami rasa transmigran belum memperoleh hak hukum yang jelas.
2. Mengawal Perjanjian Kerjasama Pembangunan Perkebunan antara PT. Muaro Kahuripan Indonesia dengan Koperasi Berkah Sejahtera baru yang sesuai dengan amanat Undang-undang Transmigrasi.
Kami mengajukan permohonan dengan berbagai pertimbangan logis diantaranya :
1. Tujuan transmigrasi sudah jauh dari perundangan yang ada
2. Tujuan transmigrasi sudah jauh dari cita-cita transmigran
3. Hak transmigran sejak 28 Juni 2004 hingga sekarang masih belum terpenuhi
4. Tidak ada kejelasan pernyataan PT. Muaro Kahuripan Indonesia tentang konversi lahan.
Demikian surat terbuka ini kami sampaikan, kepada yang berkepentingan memegang kebijakan agar memperhatikan hak-hak masyarakat transmigran sesuai dengan amanat undang-undang transmigrasi. Mohon sekiranya ada langkah-langkah persuasif dalam menangani permasalahan ini. Atas perhatian dan kesempatan kami ucapkan terimakasih.

Wassalamuallaikum…..

 

Kontak : Sunardi Wicaksono

Mungkin sudah ratusan bahkan tak terhitung kalinya saya dan mungkin juga warga Pacitan yang lain melewati kompleks pemakaman Kucur di samping STM Bina Karya Pacitan. Namun sebagian besar orang seperti halnya saya mungkin telah melewatkan satu monumen penting yang mengandung banyak rahasia yang belum terungkap. Ada satu makam yang cukup menonjol diantara makam-makam yang lain. Makam ini, atau lebih tepatnya disebut Mausoleum, berdiri diatas pondasi batu bata dan diatasnya berdiri bangunan (cungkup, dalam beberapa penelitian disebutnya kuil/temple) megah dengan arsitektur bergaya Eropa. Cungkup tersebut ditopang oleh enam pilar yang cukup besar. Pada gerbang menuju cungkup tersebut kita sudah disambut tulisan “MEMENTO MORI” yang artinya “Ingatlah Akan Kematianmu” atau Ingatlah bahwa suatu saat kita akan mati. Selepas dari gerbang, ada tangga melengkung yang bisa digunakan untuk naik menuju cungkup baik dari sisi sebelah kiri maupun sebelah kanan. Di bawah tangga tersebut terdapat ceruk kecil semacam ruangan bawah tanah dan bisa ditemukan tulisan berbahasa latin:

AD PERPETUAM REI MEMORIAM
T*.B.F.F.Q.8

Artinya kurang lebih Sebuah Kenang-kenangan Abadi. Sedangkan tulisan enam huruf di bawahnya diperkirakan adalah inisial atau kode tertentu yang belum diketahui maksudnya sampai dengan saat ini. Tanda asterik (*) menandakan hurufnya tidak dapat dibaca karena rusak. Spekulasi yang berkembang adalah tulisan tersebut kode inisial orang yang membangun makam ini. Versi penelitian Remmelink menulisnya sedikit berbeda: “G.B.F.F.Q.S.” .

20130206-210116.jpg
Photo:DocHumas Pemkab Pacitan, Pebruari 2013

Pada bagian depan dari atap cungkup terdapat tulisan R.I.P (tentu saja maksudnya Rest In Peace atau aslinya dalam bahasa latin Requiescat In Pace, Beristirahat Dengan Tenang) sedangkan atap belakang yang menghadap ke utara tertulis ” VERLATEN MAAR NIET VERGETEN ” (yang artinya adalah Yang Ditinggalkan Tetapi Tidak terlupakan). Pada langit-langit cungkup terdapat bekas lukisan berwarna biru yg diperkirakan lukisan orang yang dimakamkan di situ. Menurut Loir & C. Guillot lukisan tersebut dihapus pada saat masa pendudukan Jepang. Tidak begitu jelas alasan dibalik penghapusan gambar tersebut.

Verlateen

Foto: Henk van Tilborg

Pada bagian bawah pilar (di Jawa disebut Umpak) terdapat ornamen khas Yunani, Lyra. Makam tersebut ditutup dengan batu nisan panjang terbuat dari batu pualam dalam ukuran yang cukup besar. Diatas batu panjang tersebut inilah awal mula makam ini menjadi bahan diskusi yang cukup serius justru dari kalangan ilmuwan di luar negeri. Paling tidak ada dua penelitian mengenai makam ini. Yang pertama dilakukan oleh Loir & Claude Guillot tahun (?) dan disambung oleh penelitian yang dilakukan oleh Willem G.J. REMMELINK pada tahun (?). Tulisan pada batu nisan (epitaph) tersebut sempat menjadi misteri yang tidak dapat diselesaikan oleh Loir & Guillot serta sempat membuat Remmelink pusing dan butuh waktu lama untuk dapat memecahkan sandinya. Tulisan pada nisan tersebut tidak dapat dibaca oleh awam karena menggunakan metode sandi Vigenere Klasik yang diperkirakan digunakan pertama kali oleh Julius Caesar dan cukup populer pada awal abad ke 19. Sekilas tulisan di atas nisan ini lebih menyerupai tulisan berantakan tanpa makna atau huruf-huruf yang bertebaran saja.

20130206-221210.jpg
Photo:DocHumas Pemkab Pacitan, Pebruari 2013

Adalah Willem G.J. Remmelink yang kemudian membuat penelitian yang memakan waktu cukup lama untuk dapat memecahkan sandi rahasia yang digunakan dalam tulisan di makam tersebut. Remmelink sangat terbantu oleh Jan Willem Stumpel yang berhasil membuat program komputer yang dapat memecahkan sandi Vigenere. Kemudian untuk pertama kalinya pada 20 Oktober 1990 sandi rahasia dalam nisan tersebut dapat dipecahkan. Berikut ini salinannya dalam bahasa Inggris dengan terjemahan bebas (Maksudnya terjemahan bebas adalah, kalau salah menterjemahkannya ya minta maaf 🙂 )

“To my deeply beloved wife Djamijah.
Born in eighteen hundred seventy three passed away on December twelve nineteen hundred one.
O my Djamijah my rose of Sharon how can I express thee my love and respect? The whole world is thereto too small for me. Shall I ever see thee again? If there is a life hereafter thou must now be in Paradise. Thou were so good and were so much thrown with dirt. Therefore, I shall take the difficult road over Golgotha and find thee back. Till we meet again! “

Terjemahan bebas:

“ Untuk istri yang sangat kucintai Djamijah.
Terlahir 1873 meninggal 12 Desember 1901.
O Djamijahku, bunga mawarku (rose of Sharon). Bagaimana saya dapat mengungkapkan rasa cinta dan hormatku kepadamu? Seluruh dunia ini menjadi sempit bagiku. Apakah aku akan bertemu denganmu lagi? Seandainya ada kehidupan di alam baka, tentu kamu sekarang ini ada di surga. Kamu sungguh sangat baik dan begitu saja terlempari kotoran . Karena itu, saya akan menempuh jalan sulit melewati Golgotha dan menemuimu kembali.
Sampai kita ketemu lagi! “

Catatan terjemahan: Rose of Sharon itu ungkapan untuk bunga yang tak ternilai harganya. Ungkapan ini juga sering digunakan dalam lirik dan sajak. Dalam penggunaan modern, Rose of Sharon merujuk pada bunga dari jenis Hypericum calycinum (biasa tumbuh di Eropa dan Asia Selatan) dan Hibiscus syriacus (biasa tumbuh di Asia). Si penulis di makam menggunakan istilah Rose of Sharon ini untuk menunjukkan betapa indah dan berharganya Djamijah baginya.

Dari prasasti di Nisan tersebut terungkap bahwa yang dikuburkan di makam tersebut adalah seorang perempuan bernama Djamijah yang meninggal pada usia 28 tahun. Tidak banyak informasi lain yang tergali dari tulisan di nisan tersebut, malah segudang pertanyaan yang kemudian muncul: Siapa suami Djamijah yang terlihat begitu mencintainya itu? Kenapa dalam nisan tersebut menyebutkan Djamijah “thrown with dirt”, apakah ada peristiwa tragis yang menimpa Djamijah sebelumnya? Kenapa tulisan diatas nisan tersebut perlu disandikan / dirahasiakan? Kalau suaminya Djamijah benar-benar mencintai Djamijah kenapa tidak ada kuburannya di dekat makam Djamijah seperti kebiasaan orang-orang yang saling mencintai? Apakah Djamijah ini istri kedua / Nyai seperti kebiasaan kebanyakan pejabat kolonial Belanda saat itu? Apakah huruf-huruf yg ditatahkan pada bagian lain dari makam ini yang berbunyi “T*.B.F.F.Q.8” merupakan kode inisial suami atau orang yang membangun makam ini? (Remmelink dalam laporan penelitiannya menuliskan “G.B.F.F.Q.S.” Dan dengan menggunakan metode pemecahan sandi yang sama mungkin menjadi H.J.M.I.R.A. ).

Penelusuran Hendri Chambert – Loir yang saat dia meneliti belum bisa memecahkan kode sandi tulisan di makam hanya memberikan sedikit petunjuk. Menurut cerita penduduk setempat, yang dimakamkan di makam tersebut adalah seorang perempuan Jawa yang cukup terkenal, istri dari seorang Pengawas Perkebunan jaman kolonial Belanda. Dari petunjuk penduduk sekitar, Chambert-Loir menemui ibu Sukiah, keponakan dari pemilik makam misterius itu yang tinggal di desa Slahung, kearah Ponorogo. Bapaknya Sukiah adalah adik kandung dari Djamijah yang diserahi tugas merawat makam tersebut. Informasi dari ibu Sukiah, suami Djamijah bernama Tuan Gip. diperkirakan Djamijah berumur 20-30 tahun lebih muda dari suaminya. Djamijah diperkirakan meninggal pada umur 35 tahun. Bapaknya Sukiyah adalah pegawai dari Tuan Gip pada masa itu. Setelah Djamijah meninggal pada tahun 1901, tuan Gip kemudian pindah ke Maospati dan menghabiskan masa pensiunnya di sana serta meninggal di sana dua tahun kemudian (1903). Tuan Gip sendiri menurut cerita adalah Pengawas / Tuan Tanah Perkebunan Kelapa. Penduduk sekitar juga sempat mengatakan bahwa sekali waktu Tuan Gip ini berjalan kaki dari Maospati ke Pacitan untuk mengunjungi makam Djamijah. Akan tetapi keberadaan makam Tuan Gip sendiri tidak ada yang mengetahuinya. Ada yang memperkirakan diantara Maospati dan Pacitan. Profesi Tuan Gip, masih menurut cerita penduduk setempat, adalah pengawas/tuan tanah perkebunan kelapa. Ia mempunyai beberapa hektar tanah.

Lantas siapakah sebenarnya Tuan Gip sang suami Djamijah?

Willem G.J. REMMELINK yang memecahkan kode sandi rahasia tulisan di batu nisan sempat melakukan penelusuran ke berbagai pihak. Menurut informasi dari penduduk Pacitan yang keturunan china, yang membangun makam tersebut adalah Mr. Taalman Kip. Namun karena pengucapan logat bahasa Jawa kemudian menjadi Tuan Gip. Remmelink juga melakukan penelusuran dalam Almanak Gotha Keluarga Bangsawan Belanda (Almanac de Gotha of Dutch patrician families). Menurut catatan dokumen ini, ada salah seorang keluarga Taalman Kip ini yang pergi ke Nederlands Indie (Indonesia) dan menjadi pegawai pemerintah. Dia adalah Marcus Jacobus van Erp Taalman-Kip yang lahir di Woerden pada 16 Maret 1830. Di Jawa dia menikah di Madiun dengan perempuan jawa bernama Noertya, dimana dia memiliki dua orang anak laki-laki dan satu perempuan.

20130209-094903.jpg
Foto: Willem Frederick van Erp Taalman Kip,salah satu keturunan Marcus Jacobus van Erp Taalman Kip

Akan tetapi informasi inipun masih belum sepenuhnya terverifikasi, hanya berdasarkan penuturan dari cerita informan serta penelusuran dokumen yang bisa saja salah. Seandainya benar yang membangun makam tersebut adalah Marcus Jacobus van Erp Taalman Kip, kenapa inisial nama yang dituliskan di makam tersebut tidak sama. Pada makam tersebut tertuliskan “G.B.F.F.Q.S.” yang bisa diterjemahkan menjadi “H.J.M.I.R.A” kenapa bukan M.J.V.E.T.K ? Apakah itu bukan nama inisial suami Djamijah?

Masih banyak misteri yang belum tersingkap dari makam ini. Cinta memang penuh dengan misteri. Pun ketika itu dalam bentuk monumen sekalipun.

$$$

Terima kasih untuk:
– Ridwan Hutagalung, Sejarawan yang “menemukan kembali” makam ini 🙂
– Lorraine Riva, Sejarawati dan Ahli Bahasa Asing 🙂
– Alexxx, Sejarawan dan Peneliti Dokumen Internet 🙂

Rujukan:
– Willem GJ Remmelink. “The Key to the Mysterious Epitaph of Pacitan”. In: Archipel. Volume 49, 1995. pp. 17-24.
– HENRI CHAMBERT-LOIR & Claude GUILLOT. “Une mystérieuse épitaphe à Pacitan”. In: Archipel. Volume 47, 1994. pp. 35-38.

Tulisan menarik tentang sisi tak terungkap aksi polisionil Belanda pada periode 1947 – 1949 yang kita kenal sebagai Agresi Militer Belanda I dan II. Sejarah aksi polisionil Belanda ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah di Belanda. Tiga Institut di Belanda yang fokus pada sejarah telah meminta pemerintah Belanda untuk melakukan investigasi menyusul temuan foto-foto langka ini.
Sejarah tidak pernah akan dilupakan anak cucu. Demikian pula yang kita lakukan hari ini ini akan menjadi sejarah bagi masa mendatang, lakukanlah dengan benar agar tidak memalukan anak cucu kelak.

KabarNet

Jakarta – KabarNet: Pada awal bulan Juli ini di negeri Belanda sedang hangat hangatnya membicarakan sejarah Aksi Polisionil Belanda di Indonesia antara 1947-1949. Semua berawal dari sebuah album foto yang ditemukan secara tidak sengaja di sebuah tempat sampah di Kota Enschede dan dimuat pertama kali oleh koran VOLKSKRANT, salah satu koran terbesar di Belanda.

View original post 2,420 more words

JADWAL KEGIATAN PERINGATAN HUT KE-67 PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI

DI KABUPATEN PACITAN TINGKAT KABUPATEN TAHUN 2012

Sumber: Documentasi Humas Pemkab Pacitan

 

TANGGAL

WAKTU

ACARA / KEGIATAN

TEMPAT

12-13 Juli 2012

07.00

WIB

Turnamen Bola Volley Tim Penggerak

PKK antar Desa Kab. Pacitan

Aloon-aloon Pacitan

 

 

 

Turnamen Bola Volley Putra antar Desa Kab. Pacitan

Aloon-aloon Pacitan

2 September 2012

 

 

Festival Layang-layang Hias

Lapangan AURI Pacitan

14 & 15 Juli 2012

19.00

WIB

Lomba Catur

Gedung BHAYANGKARA

14 -15 Juli 2012

08.00

WIB

Turnamen Sepak Takraw

Pondok Pesantren Modern Al-Anwar Kelurahan Ploso

26 Agustus 2012

08.00

WIB

Kompetisi Surfing Pacitan 2012

Pantai Pancer Door

16 Juli 2012

07.00

WIB

Lomba Gerak Jalan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK

Depan Kantor Bupati Pacitan

 

 

 

 

 

16-18 Juli 2012

08.00

WIB

Donor Darah

PMI Cabang Pacitan

17 Juli 2012

14.00

WIB

Lomba Sepeda Hias SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK

Depan Kantor Bupati Pacitan

18 Juli 2012

08.00

WIB

Lomba Qasidah Rebana Antar Sekolah SLTP, SLTA se Kab. Pacitan

Halaman Kantor Kementerian Agama

18 Juli 2012

14.00

WIB

Festival Drumb Band SD/MI, SMP/MTs

Depan Kantor Bupati Pacitan

23 Juli 2012

 

 

Pengurangan Biaya / Jasa Medis untk Pasien Anak pada Pelayanan Bidan dan Dokter Praktek Swasta

 

05 – 10 Agustus 2012

 

 

Pameran

Aloon-aloon Pacitan

13, 14, 15 Agustus 2012

21.00

WIB

Rontek Gugah Sahur

Depan Kantor Bupati Pacitan

23 Agustus 2012

19.00

WIB

Gelar Wayang Kulit Dalang Anom Suroto

Aloon-aloon Pacitan

24 Agustus 2012

19.00

WIB

Gelar Tari dan Parade Band Remaja

Aloon-aloon Pacitan

25 Agustus 2012

13.00

WIB

Pacitan Carnival (Mobil Hias)

Start Aloon-aloon Pacitan

25 Agustus 2012

19.00

WIB

Teater Tradisional dan Campursari

Aloon-aloon Pacitan

26 Agustus 2012

19.00

WIB

Gelar Dangdut

Aloon-aloon Pacitan

25 – 31 Agustus 2012

19.00

WIB

Pertandingan Bulu Tangkis

Gedung Gasibu

30 Agustus 2012

14.00

WIB

Panjat Pinang

Aloon-aloon Pacitan

1 – 2 September 2012

07.00

WIB

Pertandingan Tennis Meja

Gedung Gasibu

1-12 September 2012

07.00

WIB

Turnamen Tennis Lapangan

Lapangan Tennis Pemda

1 – 20 September 2012

15.00

WIB

Turnamen Sepak Bola antar Desa se Kec. Kota

Stadion Pacitan

07 September 2012

06.00

WIB

Senam / Jalan Sehat

Start/ finish Aloon-aloon Pacitan

09 September 2012

06.00

WIB

Sepeda Sehat (FORMI)

Start/ finish Aloon-aloon Pacitan

Minggu lalu kita dikejutkan dengan khabar beredarnya sebuah gambar seorang perempuan tanpa pakaian yang kemudian di-tag (ditandai) ke sebuah akun facebook milik instansi pemerintah daerah Kabupaten Pacitan. Kemudian berkembang isu bahwa foto tersebut mirip dengan salah satu staff pemerintah daerah. Berikutnya instansi pemerintah yang bersangkutan bereaksi cepat dengan menutup akun facebook tersebut dan mengeluarkan pernyataan singkat mengenai penutupan akun tersebut.

Menurut khabar beberapa waktu sebelumnya perempuan yang mirip dalam gambar tersebut telah kehilangan telepon genggamnya. Kejadian kehilangan ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Kemudian selang beberapa saat terjadilah kasus diunggahnya gambar-gambar tersebut. Dugaan sementara adalah seseorang yang menemukan telepon genggam tersebut kemudian membuat akun palsu atas nama Perempuan tersebut kemudian mengunggah gambar-gambar tersebut. Kini kasusnya sedang diselidiki oleh kepolisian menyusul laporan oleh perempuan tersebut ke pihak kepolisian mengenai diunggahnya gambar-gambar tersebut.

Kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia. Kasus yang paling heboh dan berujung di pengadilan tentu saja kasus video Ariel Peter Pan. Juga di Pacitan sendiri ada beberapa kejadian sebelumnya meski dengan modus dan motivasi yang berbeda. Akan tetapi terdapat beberapa kesamaan, dimana umumnya pelaku pengunggah gambar-gambar tersebut adalah pihak lain, Tidak pernah ditemukan pelaku pengunggah gambar porno adalah orang yang sama dengan yang ada di dalam foto bugil/porno tersebut. Umumnya korban merasa kecolongan karena menganggap bahwa foto-foto tersebut untuk tujuan koleksi pribadi dan tidak dimaksudkan untuk disebarluaskan.

Dalam posisi seperti ini kita dapat memahami posisi orang tersebut sebagai korban akan tetapi ada satu hal yang sangat penting sekali untuk diperhatikan oleh semua orang: JANGAN BUGIL DI DEPAN KAMERA. Apapun tujuan anda untuk membuat gambar-gambar tersebut, ataupun seberapapun ketat anda menjaga file-file tersebut, tidak ada jaminan bahwa gambar-gambar tersebut tidak akan menyebar kemana-mana di abad informasi ini.  Terlebih apabila sudah masuk di dunia maya (internet) jangan harap bisa dengan mudah untuk diambil kembali ataupun dihilangkan.

Di jaman dimana orang ramai-ramai mengemukakan ide tentang strategi pemasaran, strategi meningkatkan keuntungan, tips-tips memotivasi diri dan tetek bengek semacamnya dimana ujung-ujungnya adalah bagaimana mengumpulkan sebesar-besar keuntungan dengan modal sekecil-kecilnya, maka tulisan yang bercerita tentang hal yang seratus delapan puluh derajat bertolak belakang dengan arus besar (mainstream) tentu bukanlah pilihan yang mudah. Tetapi itulah pilihan yang dijatuhkan oleh Arin Swandari, salah satu anak muda pacitan berbakat. Arin menulis dari sudut pandang yang berbeda dari umumnya; konsumen. Dalam bukunya, Melawan Penjual dia memaparkan tips dan trik melawan iklan massif yang menurut Emha Ainun Najib bahkan disebut sebagai manifestasi dari Da’jal. Alih-alih sebagai kampanye marketing, buku ini justru membawa kita lebih jauh lagi pada pertanyaan mendasar yang menarik untuk kita renungkan bersama seputar budaya konsumerisme: Apakah kita memang memerlukan barang-barang itu? Apakah kita ditakdirkan sebagai konsumen dari mulai kita lahir sampai dengan mati nanti? Apakah kita kerja membanting tulang siang dan malam hanya untuk mengumpulkan uang dan kemudian kita habiskan membeli barang-barang? Apakah kerja itu merupakan kebutuhan manusia ataukah kita dipaksa bekerja agar dapat belanja? Tentu pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak akan dijumpai secara tertulis dalam buku ini, akan tetapi berkembang dalam pikiran sesuai dengan kreativitas dan pengalaman individu masing-masing.

Arin pun saya kira tidak sedang dalam ambisi untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, buku ini lebih tepat untuk dibilang sebagai pemantik menuju kesadaran posisi kita sebagai konsumen. Kesadaran manusia tentang bahaya konsumerisme itu telah melahirkan banyak gagasan perlawanan mulai dari gerakan penyadaran konsumen sampai dengan anti konsumerisme semacam aksi Buy Nothing Day (Hari Tanpa Belanja) ataupun D.I.Y (Do It by Yourself) yang lekat dengan tradisi komunitas punk dan gerakan-gerakan kontra kultur lainnya. Bahkan di beberapa Negara pemikiran ini berkembang secara ekstrim menjadi gerakan primitivism dimana mereka menolak tehnologi yang dianggap sebagai biang keladi kerusakan bumi. Beberapa yang lain berkembang ke arah pada apa yang mereka sebut dengan gerakan Ethical Consumerism, konsumen etis yang tidak akan membeli barang-barang yang dihasilkan oleh produsen yang memperlakukan buruhnya semena-mena, produsen yang merusak lingkungan, mempekerjakan anak-anak, melecehkan perempuan dan seterusnya. Tentu buku ini tidak juga hendak mengajak kita untuk melakukan boikot menjadi konsumen, tetapi buku ini lebih banyak mengajak kita untuk menjadi pembeli (konsumen) yang kritis, konsumen yang berdaya yang tidak melulu terbuai oleh iklan bombastis di berbagai media yang diam-diam telah mencuci otak kita. Akan menjadi menarik apabila Arin nanti menulis seri lanjutan mengenai bagaimana kerja iklan yang mampu menghipnotis manusia menjadi zombie-zombie yang menjalani siklus rutin kerja, belanja dan kemudian mati.

Selamat menulis buku selanjutnya untuk  Arin Swandari!

(Catatan: Arin Swandari adalah jurnalis sebuah kantor berita dan juga alumni SMA Negeri 1 Pacitan)

Sinopsis Buku: Melawan Penjual *)

Menjadi pembeli adalah takdir manusia, seberapa pun uang yang dimilikinya atau tidak punya uang sekalipun. Para ibu hanya menjalankan takdir itu ketika berbelanja keperluan bayi yang akan dilahirkan.

Takdir selanjutnya menjadi pembeli dilakoni si bayi hingga tua, seumur hidup, maaf bahkan sampai mati. Pembelian terakhir kita mungkin kain kafan dan peti mati (tentu saja orang lain yang membelikannya, seperti ibu yang membelikan kita popok selagi kita masih di gembolannya).

Takdir menjadi pembeli tak selalu diikuti takdir menjadi penjual. Sebagian memang iya, menjadi penjual sekaligus pembeli. Sebagian adalah pembeli saja.

Pada sebuah keluarga, akan lebih banyak anggota yang berperan menjadi pembeli ketimbang penjual. Istri atau suami yang bekerja, akan menjalankan takdirnya menjadi penjual sekaligus pembeli. Lainnya adalah pembeli tulen.

Anak-anak akan menjadi pembeli tulen, sampai ia bekerja.Istri yang mengandalkan gaji suami juga menjadi pembeli saja, begitu juga suami yang dihidupi istri.

Tetu, bukan nama saya. Tapi saya memutuskan memakainya, khusus dalam buku ini, dengan alasan yang sedikit mengada-ada.

Ibu saya, yang orang Jawa menegur suatu ketika “Nek arep tetukon, mbok dipikir dhisik.” Kalau mau membeli mbok dipikir dulu. Jadi saya asal menyomot Tetu, dari teguran itu sebagai penokohan saya, tidak peduli nyambung atau tidak. Teguran itu yang membuat saya menulis buku ini, dan potongan kata itu yang menurut saya paling paling cocok dicomot dijadikan nama.

Tetu selesai membaca buku ketiga tentang penjualan. Semakin banyak informasi tentang trik promosi dan strategi pemasaran, semakin Tetu penasaran bagaimana nasibnya sebagai pembeli. Dan kalau dipikir-pikir, konsumen juga punya andil besar membuat kesalahan dalam pembelian. Dalam buku ini Tetu mencoba mengajak Anda untuk mengingatnya, berfikir sejenak, agar bisa memperbaikinya dan bersikap rasional menghadapi penjual, yang sudah muncul sejak kita membuka mata di pagi buta.

Kalau Anda sering tergoda diskon, bolehlah sekali-sekali mengambil napas lalu membuat hitungan sederhana, supaya yakin bahwa tawaran diskon bukan tipuan semata. Dan jika dirugikan, silakan memilih salah satu jalur komplain.

Kalau Anda “gemas” dengan sales kartu kredit atau sales asuransi yang kerap ngotot, tenang… Anda punya banyak teman. Tip-tip mereka dibagi di sini. Barangkali, ini saatnya bagi Anda menggunting kartu kredit dan menyisakan 1 atau 2 saja, seperti sahabat Tetu, Frau, raja penghambur. Sebaliknya, mulailah memikirkan bagaimana mengalokasikan dana untuk membeli penghiburan. Bagaimana kalau 10% dari gaji?

Menjadi ratu atau raja belanja? Hmm tentu boleh. Tapi, sebaik-baiknya ratu atau raja adalah raja atau ratu yang bijaksana, bukan?

Buku ini dikemas dalam bentuk cerita-cerita ringan, dan mungkin sebagian cerita keseharian Anda. Untuk para penjual, bukankah perlu mengetahui juga kegalauan para pembeli? Selamat membaca…

*) Sinopsis diambil dari SINI

Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.

Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.

Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontontan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003), film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang sebuah reailtas yang ada.

Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.

Wong Sikep
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti ‘Orang Sikep’.Ungkapan ini merupakan sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai ‘Wong Sikep’ karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan ‘Wong Samin’ yang mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur. Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh Samin Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).


Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
• tidak bersekolah,
• tidak memakai peci, tapi memakai “iket”, yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
• tidak berpoligami,
• tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
• tidak berdagang.
• penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan.

Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
• Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dlam hidupnya.
• Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
• Bersikap sabar dan jangan sombong.
• Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu dibawa abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
• Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki “kitab suci”. “Kitab suci”‘ itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah “Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni.”

Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak, “Iki duwite sopo?” (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, “Yo duwitmu” (bahasa Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti.

Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya, ketika menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ ‘Sikep’ sangat jujur dan polos tetapi kritis.

Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
[sunting] Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa Terjemahan
“Saha malih dadya garan, “Maka yang dijadikan pedoman,
anggegulang gelunganing pembudi, untuk melatih budi yang ditata,
palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,
memangun traping widya, membangun penerapan ilmu,
kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,
ambudya atmaja ‘tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.” mudah-mudahan menjadi tuntunan.”

Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo. Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping rumah.

Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.

Masyarakat Samin saat ini
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain.

Referensi
• Judul Buku : Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah
• Penulis : Dra. Titi Mumfangati, dkk
• Penerbit : Jarahnitra, 2004, Yogyakarta
• Halaman : xiii + 164
astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes

– 0 –

Tulisan diadaptasi dari SINI

Banjir Pacitan Telan Korban Jiwa

Posted: 22 February 2012 in Umum

Ilustrasi Foto: Banjir di Sirnoboyo oleh AshterBudi Setiawan

Pacitan – Banjir melanda Kabupaten Pacitan menelan korban jiwa. Boinem (90), warga RT 2 RW 7 Dusun Kaliatas Desa Wiyoro Kecamatan Ngadirojo tewas setelah terseret air bah. Korban baru ditemukan pukul 06.30 WIB, pagi tadi.

“Memang benar, ada seorang nenek yang meninggal terbawa banjir,” terang AKP Darjanto, Kapolsek Ngadirojo, Rabu (22/2/2012).

Informasi yang dihimpun detiksurabaya.com, musibah bermula saat korban berangkat menuju Pasar Wiyoro yang berjarak sekitar 1,5 Km dari rumah korban. Saat itu, perempuan renta yang tiap hari berjualan kembang tersebut diantar adiknya, Tukiran (71).

Selain jaraknya cukup jauh untuk menuju ke pasar, mereka harus menyeberang jembatan gantung dan menyusuri jalan setapak. Celakanya, saat itu air sungai sedang meluap.

Bahkan tingginya permukaan air sempat membuat ujung jembatan terendam. Tentu saja meski berhasil melintasi jembatan, keduanya masih harus menyeberang aliran air yang cukup deras.

Saat itulah, tubuh keduanya terpelanting dan terbawa aliran sungai. Beruntung, Tukiran berhasil menyelamatkan diri dengan berpegangan akar pohon, sedangkan tubuh Boinem ditemukan tewas sekitar 100 meter dari lokasi.

“Jenazah korban ditemukan tersangkut tanggul di area ladang,” terang Darjanto.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan Tri Mujiharto mengaku telah menerjunkan tim untuk membantu evakuasi para korban. Tim yang dibentuk juga bertugas mengirim bantuan.

“Ada dua tim yang kami terjunkan,” paparnya kepada detiksurabaya.com.

Banjir terjadi akibat hujan deras sejak, Selasa (21/2/2012) malam juga mengakibatkan kerusakan di sejumlah titik. 6 Rumah warga rusak tertimpa longsor di Kecamatan Tegalombo. Kejadian yang sama juga menimpa 2 rumah di Kecamatan Tulakan.

Sementara di Arjosari, dampak banjir melumpuhkan aktivitas di kantor kecamatan. 12 Unit sepeda motor yang diparkir di halaman kecamatan juga tak luput dari kubangan lumpur.

(fat/fat)

Sumber: Detik dot com

Pacitan Banjir

Rabu, 22 Februari 2012 10:03:59 WIB
Pacitan (beritajatim.com) – Hujan yang mengguyur sejumlah wilayah di Kabupaten Pacitan membuat sungai Grindulu meluap. Akibatnya sejumlah wilayah di kota seribu gua tersebut terendam banjir dengan ketinggian bervariatif.

Dari informasi yang diperoleh beritajatim.com, banjir tersebut melanda di sejumlah desa yang ada di Kecamatan Arjosari dan Desa Kayen, Kecamatan Pacitan. Banjir yang datang pada pukul 04.00 WIB ini membuat aktifitas warga terganggu.

Slamet Raharjo, warga Desa Kayen mengatakan, banjir yeng terjadi di wilayahnya tersebut terjadi setelah tiga unit pintu air yang ada di sebelah timur anak sungai Grindulu mengalami kerusakan dan tidak mampu menahan luapan air.

“Pintu airnya dari dulu memang sudah tidak normal. Makanya saat hujan deras dan airnya meluap. Tadi air mulai naik ke jalan sekitar pukul empat pagi tadi,” ujarnya, Rabu (22/2/2012).

Sementara itu derasnya hujan yang menguyur sejumlah wilayah di Kabupaten Pacitan, juga membuat tebing sejumlah titik di jalan raya Ponorogo-Pacitan tepatnya di Kecamatan Arjosari longsor. Hal tersebut membuat akses jalan terganggu.

“Kalau longsornya dini hari tadi. Dan sejak pagi sekitar pukul 05.00 WIB tadi warga sudah bergotong royong untuk menyingkirkan material longsoran. Jadi sekarang sudah bisa dilalui meski hanya sepeda motor,” kata Novi warga setempat. [rdk/but]

Sumber: Berita Jatim

 

Dalam rangka menyambut hari ulang tahun kota Pacitan yang ke 267 pada 19 Pebruari 2012, saya membuat tulisan yang  mencoba merekam dan mendokumentasikan berbagai peristiwa penting yang terjadi di Pacitan mulai dari jaman pra sejarah sampai dengan jaman sekarang ini. Sumber tulisan ini dikumpulkan dari berbagai sumber yang dapat anda lihat di link atau secara komplit di bagian akhir dari tulisan ini.

Saya akan berterimakasih apabila para pembaca sekalian berkenan untuk menanggapi, melengkapi, mengurangi, membantah, dan sebagainya isi dari tulisan ini. Dengan demikian ini akan menjadi tulisan yang ‘hidup’ dan menjadi milik bersama kita semua.

Dirgahayu Pacitan ke 267..!!

Pacitan jaman Pra Sejarah

Mata Panah jaman pra sejarah dari Pacitan (Gambar diambil dari sini )

Berbagai temuan arkeologi menunjukkan bahwa ternyata Pacitan sudah dihuni pada masa-masa pra sejarah. Benda-benda yang ditemukan tersebut diduga merupakan alat-alat kerja tingkat sederhana jaman Prasejarah yang digunakan pada masa berburu dan mengumpulkan makan. Dikenalnya Pacitan sebagai situs arkeologi dimulai sekitar tahun 1935 saat Gustav Heinrich Ralph von Keningswald, seorang paleontology dan geology dari jerman serta M.W.F. Tweedie menemukan situs Kali Bak Sooka di Kecamatan Punung. Situs ini merupakan Bengkel Manusia Purba Terbesar dari kebudayaan Paleolitik atau lebih dikenal sebagai budaya Pacitanian. Selanjutnya ditemukan kurang lebih 261 lokasi situs prasejarah dengan 3000 temuan artefak.

Temuan artefak di pacitan ada berbagai macam diantaranya Kapak Perimbas yang mempunyai multi fungsi, selain alat untuk mencari ubi juga untuk berburu. Dalam kegiatan berburu, terutama mulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut manusia juga menciptakan ujung anak panah dari batu. Temuan-temuan lainnya diantaranya adalah Kapak Genggam, Kapak penetak, mata anak panah, serut, alat-alat dari tulang, dsb. Pernah ditemukan juga manik-manik sebagai sarana yang dipakai sebagai perhiasan dan juga biasanya dipakai sebagai bekal kubur. Manik-manik semacam ini mulai ada sejak masa bercocok tanam yang pada saat itu juga berkembang kebudayaan Megalithicum/batu-batu seperti dolmen, kubur batu, dan sebagainya.

Tidak hanya peralatan tetapi juga pernah ditemukan fosil manusia purba dari ras Austrialid yang hidup sekitar 12.000 tahun sebelum masehi. Ketika ditemukan, kerangka manusia purba berjenis kelamin perempuan itu dalam posisi terlipat menghadap dinding goa dan disangga beberapa batu. Ditangannya memegang peralatan dari batu. Satu lagi kerangka juga ditemukan tetapi rasnya berbeda, yaitu dari ras Mongoloid.

Situs-situs ditemukannya artefak-artefak tersebut diantaranya adalah situs Kali Bak Sooka, Song Keplek, Song Terus, situs Sungai Banjar, Sungai Karasan, Sungai Jatigunung (Tulakan), Kedung Gamping, Mantren, dsb.

Situs Song Terus (photo: Tunjung Gina)

Pacitan Jaman Ki Ageng Buwana Keling

Sejarah Pacitan umumnya ditulis berawal dari kedatangan Ki Buwana Keling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke XII M. Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Pusat pemerintahan Negeri Buwana Keling terletak di ± 7 km dari ibukota Pacitan sekarang (Jati Kec. Kebonagung) yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir selatan. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling.

Keberadaan Ki Ageng Buwana Keling ini dikuatkan dengan prasasti jawa kuno yang diduga dibuat pada abad XV yang menyebutkan bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di daerah wengker kidul.

 PRASASTI JAWA KUNO

 JA PURA PURAKSARA ERESTHA

 BHUWANA KELING ABHIYANA

 JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA

 BHIJNA TABHA MINIGVAZAH

 RATNA KARA PRAMANANTU

 Artinya : dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya.

Versi lain menyatakan bahwa Ki Ageng Buwono Keling ini adalah saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung, salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V. Ceritanya dimulai pada saat menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang menikah dengan puteri dari China. Dalam kepercayaan kala itu siapa saja wangsa Jawa yang menikahi puteri China dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal. Prabu Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila huru-hara benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu.

Di saat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa, karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso (mereka berempat bukan saudara kandung melainkan saudara satu perguruan) melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”.  Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi  tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.

Saat kemudain Majapahit benar-benar mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung  turun gunung, ternyata beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut. Kemudian Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara seperguruannya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan  nafas terakhirnya ia berpesan untuk menggali makam dengan tongkatnya.

Setelah peristiwa tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat (kelak terkenal dengan sebutan Gunung Limo, tetapi tidak terlihat sebagai lima gunung bila dilihat dari Astono Genthong ). Kemudian ia mempunyai firasat bila saudaranya berada di gugusan gunung tersebut, namun sesampainya di gunung tersebut ia tidak bertemu saudaranya.

Dikisahkan bahwa akhirnya Kyai Tunggul Wulung membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo. Salah satu dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan tempat untuk bertapa atau bersemedi. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan seperti tangga (ondo rante) selain itu kita harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.

Selo Matangkep adalah sebuah celah sempit diantara batu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat maka ia tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan kendati ia berbadan besar maupun kecil akan bisa melewatinya.

Berakhirnya Masa Ki Ageng Buwana Keling dan Masuknya Islam di Pacitan

Kegoncangan masyarakat Wengker Kidul dibawah pemerintahan Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg /Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam.

Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V). Dalam legenda sering disebutkan bahwa Ki Ageng Buwana Keling ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak bisa mati meesski dibunuh berkali-kali berkat ajian yang beliau miliki yakni “Pancasona”. Akhirnya ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga bagain kemudian jenazahnya dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.

Jl. Ki Ageng Petung Pacitan tahun 1974

Berdirinya Pondok Pesantren Tremas
Sejak terbunuhnya Ki Ageng Buwono Keling itulah maka daerah Wengker Kidul dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat sampai dengan wafatnya, dan kemudian dimakamkan di daerah Pacitan.

Selanjutnya dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan semakin maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso (kelak berganti nama menjadi KH. Abdul Manan) kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). Setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, Arjosari yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Tremas sekarang ini.

Asal mula Nama pacitan

Terdapat minimal dua versi mengenai asal usul nama Pacitan. Versi pertama, Pacitan berasal dari kata “Pace Sak Pengetan” yang diberikan oleh Pangeran Mangkubumi saat menyingkir ke daerah Wengker Kidul karena terdesak musuh. Saat itu sedang terjadi perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya mundur keselatan sambil mencari dukungan untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan (Drs. Ronggosaputro;1980)

Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh  Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.

Versi yang lain mengatakan bahwa Pacitan berasal dari kata pacitan yg berarti makanan kecil, camilan, snack yang tidak mengenyangkan. Ada yang mengkaitkan ini dengan kondisi Pacitan saat itu sebagai daerah minus sehingga sumber daya alam yang ada tidak mencukupi atau tidak mengenyangkan warga yang tinggal di tempat tersebut.

Ada fakta yang menarik bahwa nama Pacitan ternyata telah muncul jauh sebelum terjadi perang gerilya Pangeran Mangkubumi. Nama Pacitan telah disebut-sebut dalam Babad Momana yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).

Nama-nama Pejabat Bupati Pacitan

1745-1750 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005-2010: H. Sujono (meninggal sebelum selesai masa jabatan digantikan wakilnya: H.G. Soedibjo yang memerintah 34 hari)
2011- sekarang: Drs. H. Indartato, MM

(Bersambung)

Posted: 20 February 2012 in Umum

Foto: Fotografer.net

AGENDA KEGIATAN HARI JADI KE-267 KABUPATEN PACITAN TAHUN 2012

Kamis, 9 Pebruari 2012

05.00 – selesai Khataman Al Qur’an di Masjid Agung Pacitan

19.00 – selesai Dzikir Akbar di Pendopo Kab. Pacitan
Jum’at – Sabtu, 10 – 19 Pebruari 2012

09.00 – selesai Pameran Buku di Gedung Gasibu
Minggu,12 Pebruari 2012

06.00 – selesai Sepeda kuno Start-finish Alon-alon Pacitan
Selasa,14 Pebruari 2012

09.00 – selesai Seminar reformasi birokrasi Narasumber : Moh. Sobary & Men PAN di Pendopo Kab. Pacitan
Rabu, 15 Pebruari 2012

08.00 – selesai Lomba/Pertandingan Olahraga (Lomba Volly antar Kepala Desa se Kab. Pacitan, Tim SKPD dan, DPRD di Alon-alon Pacitan
Kamis, 16 Pebruari 2012

09.00 – selesai Seminar Kesehatan keluarga harmonis

Narasumber : dr. Taufik Hidayat di Ruang Peta
Kamis – Jum’at, 16-17 Pebruari 2012

08.00 – selesai Donor Darah di UTDC PMI Pacitan
Kamis, 16 Pebruari 2012

20.00 – selesai Pagelaran Wayang Beber di Halking
Sabtu, 18 Pebruari 2012

19.00 – selesai Sholat hajad dan sujud syukur di Masjid Agung Pacitan
Minggu, 19 Pebruari 2012

09.00 – selesai Prosesi hari jadi di Pendopo Kab. Pacitan
Minggu,19 Pebruari 2012

19.00 – selesai Penampilan Shalawatan Desa Sukoharjo dan Desa Banjarsari di Alon-alon Kab. Pacitan
Senin, 20 Pebruari 2012

20.00 – selesai Ketoprak anak-anak di Alon-alon Pacitan
Selasa, 21 Pebruari 2012

21.00 – selesai pagelaran wayang kulit dengan dalang anak-anak di Alon-alon Pacitan
Selasa – Sabtu, 21 – 25 Pebruari 2012

19.30 – selesai Bola Volly Liga Osis SMA N 1 Pacitan di Gasibu

Rabu, 22 Pebruari 2012

20.00 – selesai parade band di alun-alun Pacitan

Kamis, 23 Pebruari 2012

20.00 – selesai Koes ploes mania di alun-alun Pacitan

Jum’at, 24 Pebruari 2012

06.00 – selesai Jalan sehat Start – finish alon-alon Pacitan

21.00 – selesai Pesta kembang Api dan dangdut SERA dari Telkomsel di Alon-alon pacitan
Minggu, 26 Pebruari 2012

06.00 – selesai Sepeda Sehat Start – finish alon-alon Pacitan
Rabu,29 Pebruari 2012

21.00 – selesai Pengajian Akbar

Mubaligh : KI JOKO GORO-GORO di Alon-alon Pacitan

*Sumber: DocHumas Kab. Pacitan